Header Ads

Isoopo Motivation
  • Breaking News

    Kisah Nyata Hidup Serumah Dengan Mertua


    Kisah nyata ini patut menjadi pencerahan bagi suami yang mengajak istrinya untuk tinggal serumah dengan keluarga orang tuanya....... semoga ada manfaat yang bisa diambil...



    Aku adalah pria dewasa yang kuat, tampan dan mapan menurut penilaian banyak orang. Aku adalah pria yang sopan, yang baik hati menurut mereka. Tapi mungkin mereka tidak pernah tau, ketika seorang diri aku adalah pria yang bodoh, cengeng, rapuh yang hidup penuh kesalahan dan rasa penyesalan.

    Aku mencintai istriku menurutku dan juga mencintai anakku. Istriku ku Ami adalah wanita yang baik dan tidak berlebihan menurutku.
    Kami tidak pernah ribut, hanya masalah-masalah sepele, seperti aku meletakkan baju kotor sembarangan, menyerakkan rak sepatu, atau ketika sedang badmood dia diam saja aku mintai tolong namun tetap mengerjakannya, atau dia cemberut karena aku melupakan janjiku untuk mengantarnya ke supermarket.

    Ahh tapi pernah beberapa tahun yang lalu ketika istriku menabung sedikit demi sedikit uangnya untuk membelikan aku hadiah ulang tahun berupa jam tangan ber merk. Aku malah marah dan tidak mau menerima jam tersebut, alasanku marah padanya adalah karena dia menitipkan uang untuk membeli jam tersebut pada temanku dan bukan nya memberikan uang tersebut langsung padaku. Apa dia tidak tau betapa malunya aku sebagai laki-laki, ketika sampai di toko jam temanku berpura-pura bertanya jam mana yang bagus diantara dua pilihan dengan budged yang diberikan oleh istriku padahal sebenarnya jam itu untukku. Waktu itu aku tidak berpikir sama sekali bahwa istriku hanya berusaha menyenangkanku, berusaha memberikan surprise untukku. Istriku tampak kecewa dengan sikapku.

    Kehidupan rumah tangga kami, bukanlah pasangan muda yang banyak mendapat harta warisan dari orangtua. Kami merintis dari nol. Bahkan masih hidup bersama kedua orangtuaku. Namun Alhamdullilah selalu meningkat lebih baik hingga akhirnya aku bisa bekerja di perusahaan yang bagus.
    Dan aku selalu mengira rumah tangga kami baik-baik saja selama 7 tahun pernikahan kami. Walaupun ada beberapa kali Ami merengek minta dibuatkan rumah, karena sekali-kali ada terjadi cekcok antara Ami dengan ibu atau adik-adikku. Tapi aku tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan nya. Bagiku untuk apalah rumah, belum terlalu penting.

    Aku adalah anak ketiga dari lima bersaudara dan anak laki-laki satu-satunya. Kakak pertama ku tinggal diluar kota ikut suaminya dan sangat jarang pulang. Adikku yang pertama tinggal sekitar 10km dari rumahku, sudah memiliki dua anak dan lumayan sering tidur dirumah karena suaminya bekerja diluar kota. Adikku yang kedua kuliah di luar kota. Dan adikku yang ke tiga masih duduk dibangku smp. Sementara istriku dia adalah yatim piatu. Dan hanya dua kakak beradik.

    Bicara tentang gaji, walaupun telah bekerja di perusahaan ternama gajiku habis hanya untuk membayar hutang di bank, cicilan mobil, membantu sekolah adikku, dan memberi ibuku perbulan, sebagai janjiku karena aku berhasil masuk ke perusahaan tempatku bekerja karena jasa orangtua. Sementara istriku yang menjalankan usaha menjahit, hasilnya hanya cukup untuk biaya makan kami sekeluarga bersama orangtua, biaya internet, listrik, arisan dan lainnya.

    Istriku tidak pernah marah karena aku tidak mampu memberikan sebagian uang gajiku kepadanya seperti aku memberikan rutin kepada ibuku.
    Tahun terus berlalu, lagi-lagi aku berpikir kehidupan rumah tanggaku tampak berjalan seperti biasanya dan baik-baik saja. Meski mungkin itu menurutku saja karena aku sibuk bekerja dan jarang dirumah. Pernah beberapa kali ketika malam hari sebelum tidur, istriku mengampiriku, bercerita dengan suara pelan sambil meneteskan air mata, mengeluhkan ibuku, ayahku atau adikku. Aku hanya mengusap kepalanya. Meminta untuk bersabar. Meski saat itu sebenarnya aku tidak pernah benar-benar mendengarkan nya, aku berpikir.. ahh biasa bukan masalah besar.

    Pernah juga ketika istriku tidak dirumah justru ibukulah yang mengeluhkan ini itu segala macam sifat istriku. Dan memintaku untuk menasehatinya. Aku hanya menjawab ya bu. Akan kukasih tau nanti.

    Jadi ketika ada kesempatan untuk bicara, kukatakan pada istriku supaya dia bisa bersikap lebih baik pada orangtua atau adik-adikku. Lalu istriku mulai bercerita dan kembali menangis. Ayah gak di rumah, ayah gak tau gimana ibu, ayah gak tau gimana adik ayah, umi udah gak sanggup yah, umi pengen punya rumah sendiri. Aku hanya mengusap kepalanya. Meminta untuk bersabar.

    Jika ku telaah baik-baik aku pun tau istriku berkata apa adanya semua tentang orangtua bahkan adikku. Bagaimana tidak, adikku yang sudah berkeluarga saja sering tidur dan makan dirumah bersama anak-anak bahkan suaminya. Kadang jika akan pulang ke rumahnya dia membawa beras atau yang lainnya juga dari rumah kami. Tentu saja dia memintanya pada ibuku bukan istriku. Padahal bisa dikatakan istriku saja berjuang dengan sangat hemat untuk mencukupi semua kebutuhan kami.

    Dan sepertinya istri ku cukup lelah, baik itu secara psikis maupun financial. Uang yang kami punya hanya habis berputar-putar disitu saja. Kami bahkan tidak memiliki tabungan. Belum memiliki rumah. Hanya sebuah mobil yang masih kredit dan ruko kecil tempat istriku membuka usaha. Tapi aku bahkan belum bisa berbuat apapun untuknya.

    Hingga akhirnya hal buruk itu benar-benar dimulai. Suatu hari, ibuku membuka pembicaraan tentang uang perbulan yang selalu aku berikan. Ibuku bilang “tolong bilang ke istrimu jangan di bahas-bahas lagi tentang uang itu. Karena sekarang ini gak ada lagi orang tua lain yang bisa bantu anaknya masuk kerja ke perusahaan sebagus itu. Kamu itu beruntung ”Bu, Ami gak pernah bilang apa-apa ke Yoga. “kamu mau kasih berapapun gak akan bisa balas apa yang udah orangtua berikan.” Dia gak pernah marah atau iri kok bu. Tapi ibuku trus saja mengucapkan kata-kata lain nya. Istriku yang sedang menyiapkan baju untukku dikamar akhirnya keluar karena mendengar ribut-ribut dan menanyakan ada apa. Ku jelaskan yang disebut ibu pada istriku, semeentara ibu masih terus saja bicara, hingga akhirnya istriku menjawab kalo ibu memang gak sayang dengan nya dan pergi masuk ke kamar meninggalkan aku dan ibu. Saat itu aku sempat berkata pada ibu kalo memang ibu gak suka lagi aku dirumah ini, maka aku akan pergi.

    Menjelang siang istriku di jemput teman nya dan pergi bersama Okan keluar. Ketika pulang menjelang sore dan masuk ke kamar, istriku menemukan secarik surat di tempat tidur dari ibu yang berisi. “mulai hari ini saya tidak kenal kamu lagi, saya memang tidak pernah menyayangi kamu dan kamu bukan menantu saya lagi.” Istrikuku memfoto surat kecil itu dan mengirimkan nya padaku lewat bbm. Rasanya pasti seperti di sambar petir di siang bolong. Istriku langsung pergi lagi keluar dari rumah bersama Okan.

    Mungkin wanita lain akan kembali ke rumah orangtuanya, tapi istriku mau kemana dia. Kakak nya jauh tinggal di Bandung. Disinipun ikut denganku tidak memiliki teman dekat. Aku sempat menitikkan air mata, namun karena saat itu dikantor sangat bnyak pekerjaan akhirnya masalah itu terlewat begitu saja dipikiranku hingga jam pulang.

    Ketika sampai dirumah dan menemukan istriku tidak ada aku menelepon dan menanyakan dia dimana. Aku membujuknya agar mau pulang. “dan malam itu juga kami pun berkumpul, aku, istriku, ibuku, ayahku. Membicarakan titik permasalahan nya. “Ibuku yang memang pertama kali memulai masalah pun tampak nya enggan untuk mengakui.” tentu saja, karena dia pasti tidak akan mau jika harus mengaku salah di depan anak dan menantunya. Sementara itu istri dan ayahku hanya diam saja. “ibuku trus bicara blaaa-blaaa.. ini itu dan banyak yang lain nya untuk semakin memojokkan istriku.

    Akhirnya aku bertanya “jadi ibu mau nya apa?” ibuku bilang, dia ingin istriku merubah sifatnya. Ibuku bilang dia tidak akan mau makan, karena ibuku tau selama ini istriku tidak rela, tidak ikhlas. Aku bilang pada ibu, kalau ibu tidak mau makan itu bearti ibu tidak menghargai hasil jerih payahku. Lebih baik aku gak usah tinggal dirumah ini lagi. Ibuku kembali bilang, “bahwa dia gak makan karena istriku tidak rela. Ibuku juga bilang, seharusnya istriku bisa bersikap lebih baik ke adik-adikku. Dan jangan dibahas lagi masalah uang yang aku berikan karena ibuku malu jika orang lain tau. Dan kalau sampai aku pergi meninggalkan rumah ini, ibuku bilang dia tidak akan mau menginjakkan kakinya dirumahku sebagus atau semewah apapun rumahku.

    Saat itulah aku melihat istriku meneteskan airmatanya, airmata itu trus saja mengalir tak tertahan lagi olehnya. Meski berusaha menangis tanpa suara, tampak sekali bahwa ia merasa sedih, terpukul, kecewa, tersiksa bercampur menjadi satu. “ayahku yang sedari tadi diam saja, akhirnya buka suara dan bilang kalau dia akan sangat malu jika aku sampai pergi meninggalkan rumah ini.” Aku bilang semua keputusan ada ditangan ibu. Ibu bilang jangan pergi.

    Aku pikir masalah malam itu pastilah akan terlupakan. Setahun lebih hampir berlalu dan semua akan kembali baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah. Istriku berubah menjadi lebih pendiam, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau main dengan anak kami, dia jarang sekali tertawa, bercanda seperti dulu. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang begitu sebagai upaya untuk berusaha menjadi lebih baik.
    Istriku tidak pernah lagi merengek minta dibuatkan rumah, tidak pernah minta di antar ke supermarket, arisan, atau mengajak keluar saat weekend. Bahkan jika aku ajak pergi ke kondangan ataupun keluar istriku menjawab, “ayah saja ya umi capek, ayah saja ya umi ngantuk, ayah saja ya umi masih ada kerjaan.” Dan aku pikir memang begitu keadaannnya.

    Aku bahkan tidak menyadari jika istriku menjadi lebih kurus, matanya sering sembab karena berusaha menyembunyikan kesedihannya dariku. Suatu hari bahkan anakku Okan pernah berkata, kita kalau mau makan selalu bilang “makan umi, makan oma, makan opa, makan aunty, tapi kok Okan gak pernah denger umi bilang gitu ya yah. Aku tersentak dan tersenyum, umi kan sekarang gak mau bicara kuat-kuat sayang mungkin waktu umi makan lagi gak ada siapa-siapa. Sahutku. Okan pun tersenyum, mengangguk. Tapi aku jadi terpikir dengan kata-kata anakku, selesai makan akupun langsung masuk ke kamar menghampiri istriku yang memang lagi tidak enak badan menanyakan apa ia sudah makan? Mau dibelikan apa? Istriku hanya tersenyum dan menggeleng tidak mau apa-apa katanya. Dia sudah kenyang.

    Bulan berlalu, kota kami dituruni hujan yang sangat lebat, memang sedang musim hujan sih sebenernya. Tapi hari ini betul-betul lebat bahkan beberapa pohon tua di area perkantoranku sampai tumbang. Aku berusaha menelepon istriku namun tidak di angkat. Akhirnya aku menelpon ke ruko dan menanyakan ke karyawan apakah istriku ada disana, “ada pak, tapi ibu didalam baru datang setengah jam yang lalu sambil basah kuyup pak.” Oh ya sudah kalu gitu. “ada pesan pak?” paling nanti saya mau jemput ibu. Gak perlu dibilang ya mbak, ada surprise soalnya. “oke pak.”

    Hari ini perusahanku menang tender, aku pun kelimpahan bonus yang lumayan besar jumlahnya dan pasti bisa digunakan untuk membuat rumah sederhana impian istriku. Lepas jam kantor aku pun bergegas ke ruko ingin berjumpa belahan jiwaku. “ibu masih didalam mbak? masih pak. Aku membuka pintu pelan sekali, karena ingin mengejutkannya. Istriku tampak menidurkan kepalanya di atas tangan di meja. “DAAAAAA.. sahutku memegang pundak istriku, yang ternyata pakaian nya masih basah karena kehujanan tadi. Ya ampun pikirku, hujan sudah berhenti hampir 2 jam yang lalu. Umiii, panggilku sambil membalikkan tubuhnya. Saat itulah aku menyadari sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Wajah istriku sangat pucat dan biru. Tangannnya sangat dingin seperti es. Umiiii jeritku membopongnya membawa ke luar ruangan. Karyawan yang ada diluar pun kaget melihatku. Aku langsung meminta salah satu karyawan menyupir mobil sementara aku menggendong dan berusaha menyadarkan istriku.

    Aku tak henti-hentinya menangis, segala pikiran dan bayangan buruk merasuk kedalam pikiranku. Air mataku jatuh tak terhankan membasahi wajah istriku. Aku memeluknya erat, erat sekali. Pejalanan ke rumah sakit ntah kenapa terasa begitu lama. Aku tak tahan lagi. Aku ingin agar istriku segera sadar, aku ingin dia tau kabar gembira yang kubawa, aku ingin dia tau betapa aku mencintainya. Aku ingin dia bahagia. Aku ingin dia tersenyum. Aku tidak indin dia bersedih atau pun menangis lagi. Aku ingin melihat senyumnya yang dulu, ketawanya yang dulu, candaan nya yang dulu. Yang hilang tanpa pernah aku sadari. Umi maafkan ayah mi. Maafkan ayah. Maafkan ayah. Maaafkan ayah umi.. maafkannnnn...

    Selama dua jam Aku menunggu dokter menangani istriku. Kenapa lama sekali mbak? tanyaku pada perawat yang keluar dari ruangan. “sabar pak” jawabnya. Ya Allah ya tuhan, aku mohon selamatkan dia Ya Allah. Dialah bidadariku Ya Allah. Aku sangat mencintainya. Bagaimana mungkin aku dan anakku hidup tanpa nya. Tanpa kasih sayang nya. Aku merasa sangat sedih sekali. Belum pernah aku merasa sesedih ini. Tapi bagi istriku mungkin selama ini, seperti inilah hidup yang ia jalani. Namun aku tak pernah mengerti dan merasakannya. Aku tak pernah akan tau betapa ia menderita jika peristiwa ini tidak terjadi. Ya Allah maafkan aku, aku mohon beri aku kesempatan....

    Maafkan kami pak, nyawa istri bapak tidak tertolong. Istri bapak terserang hipotermia. Sahut dokter dengan wajah sedih.
    Seketika tubuhku lunglai dan menjadi dingin seperti es. Airmataku jatuh tak tertahankan. Bagaimana mungkin dok? Istri saya hanya kehujanan sebentar saja. Bagaimana mungkin? “Mungkin saja pak, walaupun hanya kehujanan sebentar tapi bisa saja tubuh istri bapak sedang dalam keadaan yang tidak fit, atau perutnya kosong, apalagi istri bapak tidak segera mengganti pakaian nya yang basah setelah kehujanan.

    Ya Allah, jeritku... aku tak berhenti menangis, aku tak berhenti memeluknya, tubuh istriku yang telah kaku. Aku menatap lekat wajahnya, wajah itu begitu teduh namun sayu.

    Amiiii, aku mencintaimu sangat mencintaimu sayang. Maafkan aku yang tak pernah mengerti. Maafkan aku yang tak pernah paham. Tapi mengapa tak engakau beri aku kesempatan? Apa engkau sudah benar-benar lelah? Apa memang sudah tak kuat lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Apa kamu pikir aku akan kuat mejalani ini semua? Bagaimana dengan anak kita? Pikiranku kembali ke semua hal yang telah berubah pada istriku setahun belakangan ini.

    Seandainya saja aku menyadari bahwa semakin hari tubuhnya memang semakin kurus, seandainya saja aku menyadari kata-kata Okan malam itu padaku. Aku menyesali semuanya, semua yang telah terlambat dan tak akan terulang.

    Andai waktu dapat diputar, pastilah aku tidak akan membiarkanmu tinggal lama-lama serumah dengan keluargaku. Andai waktu dapat diputar pastilah dengan sungguh-sungguh akan kubangun rumah impianmu sayangku, cintaku, bidadariku. Air mata ini, kesedihan ini, tak akan mampu menghapuskan semua salahku sayang.

    Untuk para suami, yang telah dianugerahi seorang istri hargailah keberadaannya, kasihi dan cintailah dia sepanjang hidupmu dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karena apabila ia telah tiada, tidak ada suatu apapun yang dapat lebih baik seperti dirinya.

    Bukanlah hal yang salah jika tinggal bersama mertua atau saudara ipar. Tapi pernahkah kamu mendengar pribahasa “yang jauh bau bunga yang dekat bau tahi.”

    Jadi alangkah lebih baiknya jika kau bina rumah tangga kecilmu dengan tertatih namun berujung nikmat dan bahagia. Karena didalamnya akan kau temukan begitu banyak kejutan dan cinta.

    Keluarga memang penting, ibu, ayah, kakak, adik, tapi jangan sampai karena cinta mu pada mereka engkau melupakan cinta dan tanggung jawab pada istrimu.







    Review :
    - https://web.facebook.com/viralonlinez/posts/170703340362473:0

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad