Header Ads

Isoopo Motivation
  • Breaking News

    Kisah Pengidap Vaginismus Pada Wanita

     


     Eunike Putri berkisah atas yang dialami  pada dirinya

    "Vagina saya seperti menolak," tutur Eunike Putri, menceritakan betapa sulitnya melakukan hubungan seksual dengan suaminya, Budiman Rahardjo. Selama setahun, pasangan ini tidak bisa bersenggama layaknya pasangan suami-istri pada umumnya

     "Kalau kita mau melakukan hubungan, sakit banget. Dimasukkan jari saja, sakitnya luar biasa. Terus saya kebayang, kalau jari sakitnya begini, bagaimana kalau penis laki-laki?" tutur perempuan 29 tahun itu.

    Eunike menyadari kondisinya tersebut ketika pertama kali berhubungan intim dengan suaminya. Saat itu, dia mengira reaksi tubuhnya adalah hal yang wajar. Tapi rasa sakit itu selalu dialami saat dia dan suaminya kembali mencoba di hari-hari berikutnya. 

    Eunike sempat berpikir rasa sakit pada organ intimnya akibat kurang rileks saat berhubungan seksual. Pikiran itu dikuatkan pendapat teman-temannya. Dia lantas mencoba segala cara agar bisa rileks, seperti berbulan madu, melakukan relaksasi, dan mandi air hangat. Kendati demikian, hasilnya tetap nihil.

    Seorang teman lantas menganjurkan Eunike dan Budiman mendengarkan wawancara dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG dengan seorang selebgram di media sosial. Dari situlah, Eunike menyadari dirinya mengidap vaginismus.

     

    Apa itu vaginismus?

     
    Vaginismus adalah kekakuan otot dinding-dinding vagina yang tidak bisa dikendalikan oleh perempuan sehingga penetrasi vagina tak mampu ditolerir. Penyakit yang diklasifikasi sebagai penyakit organ reproduksi dan saluran kemih ini, secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu kendala dan kegagalan penetrasi vagina.

    "Secara statistik, yang mengalami kegagalan penetrasi vagina mencapai 88% dari seluruh penderita vaginismus, sedangkan yang kendala penetrasi vagina lebih sedikit yang mengalaminya," kata dokter Robbi Asri Wicaksono, SpOG ketika ditemui di sela-sela jam praktiknya di RS Limijati,Kota Bandung.

    Menurut dokter Robbi, kendala penetrasi ditandai dengan gejala; sakit saat penetrasi terjadi walaupun sudah ditambahkan dengan lubrikan tambahan, penetrasi tidak konsisten, penetrasi hanya bisa sebagian terjadi, dan selalu nyeri saat pemeriksaan medis pada vagina.

    Adapun kegagalan penetrasi gejalanya hanya satu, yakni tidak bisa terjadi penetrasi sama sekali. Bagi suami atau pasangan ketika melakukan penetrasi dirasa "seolah-olah menabrak dinding."

    "Tetapi sebenarnya dinding itu sendiri bukanlah secara harfiah dinding betulan, namun dinding itu adalah manifestasi dari kekakuan otot dinding-dinding vagina. Vaginanya itu bukan nggak ada lubangnya, struktur vaginanya normal. Mereka haid seperti biasa, namun karena adanya kekakuan di kanan, kiri, atas, bawah vaginanya sehingga penetrasi itu tidak bisa terjadi atau tidak memungkinkan bisa terjadi," papar

    Vaginismus ini, lanjut Robbi, memiliki lima derajat keparahan, yang paling ringan derajat satu dan yang terberat derajat lima. Kendala penetrasi biasanya terjadi pada derajat satu dan dua, sedangkan kegagalan penetrasi terjadi pada derajat tiga hingga lima.

    Robbi mengaku sebagian besar pasiennya mengalami vaginismus gejala empat, kedua terbanyak adalah derajat lima.

     

    Eunike Putri didampingi suami, Budiman Rahardjo, saat berkonsultasi dengan dokter Robbi Asri Wicaksono di Bandung.

    Eunike Putri didampingi suami, Budiman Rahardjo, saat berkonsultasi dengan dokter Robbi Asri Wicaksono di Bandung.

    Pada vagimismus derajat 5 atau dengan tingkat keparahan tertinggi, pasien mengalami gejala yang tidak terkait dengan vagina atau muncul reaksi tubuh yang menyeluruh, seperti peningkatan denyut jantung, saat diperiksa pasien menangis hebat, mual dan muntah, pingsan, hingga menendang pemeriksa.

    "Manifestasi dari vaginismusnya sedemikian berat sehingga memunculkan gejala-gejala seperti itu," kata Robbi.

    Sejauh ini, tambah Robbi, belum ada fakta ilmiah yang menunjukkan penyebab penyakit yang menyerang perempuan ini. Dalam dunia medis, vaginismus dikategorikan sebagai penyakit idiopatik artinya penyebabnya tidak diketahui, sehingga tidak pernah bisa dikonfirmasi kenapa seseorang mengalami vaginismus.

    Oleh karena penyebabnya belum diketahui, maka tidak ada cara medis untuk mendeteksi dini penyakit ini. Tapi perempuan bisa mulai menduga dirinya mengalami vaginismus ketika kesakitan saat dilakukan pemeriksaan vagina, seperti USG transvaginal dan penggunaan alat pemeriksaan cocor bebek, tidak bisa menggunakan tampon haid, serta sakit saat penetrasi atau gagal penetrasi.

    Ketika mengalami kondisi tersebut, Robbi menyarankan agar segera memeriksakan diri ke dokter, bahkan saat pertama kali berhubungan seksual -yang biasanya dianggap wajar ketika perempuan mengalami sakit- untuk mencegah gangguan psikis.

    "Sebetulnya, [ketika] mereka sudah tahu mengalami gagal penetrasi, saat itu juga mereka boleh menyangka kuat bahwa dirinya penderita vaginismus. Jadi jangan berlama-lama dalam kegagalan penetrasi. Ini kembali lagi karena asumsi kebanyakan orang menganggap 'nggak apa-apa kok susah, nggak apa-apa belum terjadi, dicoba terus'. Padahal bila dia vaginismus, dicoba terus itulah yang menyebabkan gangguan psikis pada penderita," jelas lulusan Fakultas Kedokteran Unpad-RSHS Bandung.

    Hingga kini, belum diketahui berapa jumlah pengidap vaginismus di Indonesia, tapi mengacu pada angka di Amerika Serikat, jumlahnya mencapai 7% hingga 17% dari populasi perempuan negara tersebut.

    "Karena penyebabnya tidak diketahui, saya yakin angka kejadian itu akan sama di semua negara karena vaginismus ini tidak ditentukan oleh ras, ekonomi, pendidikan, religi, ataupun profesi. Jadi prinsipnya, siapa saja bisa terkena vaginismus," ujarnya.

    Bila melihat data pasien vaginismus yang ditangani Robbi, terjadi peningkatan yang signifikan setiap tahun. Sejak 2017, Robbi telah merawat lebih dari 1.000 pasien vaginismus yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ada yang datang dari mancanegara, seperti Singapura, Australia, Jepang, dan Belanda.

    Meski jumlah pasien yang ditanganinya cukup banyak, namun Robbi menduga angka kasus kejadian vaginismus ini lebih banyak dari yang terungkap. Dugaan itu atas dasar, belum adanya kesadaran kolektif terhadap penyakit tersebut, sehingga pengidap tidak bisa mengakses layanan kesehatan yang tepat untuk mengobati penyakitnya.

    Ditinggalkan suami karena vaginismus
    Tidak hanya rasa sakit yang harus dihadapi para pengidap vaginismus, tapi juga stigma dan ketidakadilan gender.

    Eunike merasakan betul posisi dia sebagai seorang perempuan seolah disudutkan ketika kegagalan penetrasi kerap dialaminya.

    "Teman-teman atau lingkungan sekitar ngomongnya 'kayaknya kurang rileks deh'. Jadi kayaknya saya yang salah, kayaknya saya yang kurang ini kurang itu, kayaknya saya yang harus memperbaiki diri, bikin down," ungkap Eunike.

    Di samping itu, Eunike merasa bersalah lantaran tidak bisa melayani suami, terutama dalam hal seks. Kondisi itu membuatnya merasa gagal sebagai isteri sehingga memicu rasa frustasi.

    "Di satu sisi, ingin rasanya melayani suami sebagai isteri, tapi di satu sisi merasakan sakit yang luar biasa. Jadi frustasinya di situ sih dan setelah mencoba berkali-kali, jadinya trauma sama rasa sakitnya itu," tutur dia.

    Perasaan itu juga dialami oleh sejumlah perempuan dengan vaginismus.

    Pendiri Komunitas Pejuang Vaginismus, Dian Mustika, menyebutkan stigma itu diawali ketika perempuan disalahkan saat terjadi kegagalan dalam hubungan seks.

    Tekanan pada perempuan juga bertambah dengan adanya kewajiban melayani suami. Saat "melayani suami" hanya berupa hubungan seksual dan kemudian gagal, lalu perempuan yang disalahkan. Kondisi itu semakin memicu trauma pada perempuan.

    "Selalu perempuannya yang disalahkan, selalu kita yang menjadi korban. Karena ada mindset perempuan itu harus melayani suami. Dan melayani itu kenapa mindsetnya selalu ke hubungan seksual," kata Dian yang mendirikan Komunitas Pejuang Vaginismus dan kini telah beranggotakan ratusan orang perempuan penyintas dan pengidap vaginismus.

    Kondisi perempuan pengidap vaginismus pun semakin berat karena pengalaman traumatis. Dian menyebutkan, trauma dialami oleh semua pengidap vaginismus dengan kadar yang berbeda-beda. Di antara mereka bahkan ada yang kehilangan hasrat seksualnya dan ketakutan memulai pengobatan. Namun yang terburuk menurut Dian, ketika vaginismus ini merusak keutuhan rumah tangga.

    "Kalau buat aku pribadi, terburuk kondisi adalah ketika penyakit ini berdampak kepada keutuhan rumah tangga. Ditinggalkan oleh suaminya dengan alasan vaginismus. Kita itu bukan tidak mau melayani suami, tapi memang kita nggak bisa. Bukannya disupport untuk sembuh tapi malah ditinggalin begitu saja. Itu yang menurut aku terburuk," kata Dian yang juga seorang penyintas vaginismus.

    Meski vaginismus adalah penyakit fisik, tapi berdampak besar pada kondisi kejiwaan pengidapnya lantaran stigma dan mispersepsi gender.

    Psikiater Elvine Gunawan mengungkapkan hampir semua perempuan dengan vaginismus datang ke ruang praktiknya dengan kondisi kejiwaan yang sudah hancur.

    "Bagi saya penyakit vaginismus ini stigmanya kuat banget, untuk wanitanya, untuk pasangannya, untuk keluarganya. Ini suatu stigma. Karena konsep yang diberikan ini wanita harus melayani suami. Ketika tidak bisa melayani dianggapnya sebagai suatu kedurhakaan."

    "Ini yang menyebabkan ketika datang sering kali konsul dirujuk dan dia merasa 'saya wanita tidak utuh, saya wanita yang sangat berdosa kepada suami saya'. Ini menjadi gambar diri dia yang dibawa seumur hidupnya selama proses pernikahan," papar Elvine.

    "Bahkan ada empat orang pasien yang berpikir saya lebih baik mati saja deh daripada punya penyakit seperti ini," sambungnya.

    Mengalami kekerasan verbal dan fisik
    Mirisnya lagi, lanjut Elvine, stigma itu juga melekat di pola pikir tenaga medis yang didatangi pengidap vaginismus. Akibatnya, perempuan dengan vaginismus kembali menjadi korban stigma dan ketidakadilan gender yang berdampak pada kondisi mentalnya, bahkan berujung pada kekerasan verbal dan fisik.

    "Banyak sekali yang mengalami kekerasan secara verbal ataupun secara fisik karena saat konsul dibilang 'ini karena isteri Anda tidak rileks'. Suami menerima 100 persen dan ketika pulang kalimat itu diulang berkali-kali dengan kata-kata kasar dan akhirnya [isteri' dipaksa yang akhirnya dalam tanda kutip 'perkosaan dalam pernikahan'. Itu suatu yang menyedihkan sebenarnya," papar Elvine yang telah menangani 280 pasien vaginismus.

    Mispersepsi vaginismus, diakui dokter Robbi kerap terjadi, sekalipun oleh tenaga medis. Akibatnya terjadinya fenomena gunung es dalam angka kejadian vaginismus di Indonesia.

    "Dari data yang saya punya, 93% ketika mereka datang mencari pertolongan ke layanan medis, mereka hanya mendapatkan respon negatif, seperti dianggap tidak bisa bekerja sama, dianggap hanya ketakutan, dianggap kekanak-kanakan, dianggap tidak mengerti kodrat perempuan, dianggap tidak mau melayani suami, tidak bisa mengendalikan pikiran.

    "Sehingga mereka akan jatuh ke dalam situasi tidak diberikan solusi, disalahkan, bahkan semua respons buruk bisa mengakibatkan dampak sosial yang lebih berat lagi. Beberapa contoh kasus karena sikapnya itu selalu disalahkan, mereka akhirnya jadi korban KDRT, perceraian yang tidak perlu, dikucilkan dianggap orang aneh," papar Robbi.

    Stigma juga dialami laki-laki
    Walaupun perempuan dengan vaginismus lebih sering mendapat stigma buruk, tapi kondisi serupa juga bisa dialami laki-laki. Seperti diakui Budiman, suami Eunike Putri. Budiman mengaku, sempat mengalami stigma saat menceritakan kondisi perkawinannya kepada teman-temannya.

    "Saya tanya ke teman-teman saya yang sudah berpengalaman, mereka vonisnya tuh, 'ah kamu nggak jago kali, kecil kali'," kata Budiman.

    Budiman juga mengaku sempat mengalami kondisi stress, frustasi, bahkan tidak percaya diri.

    Meski begitu, Budiman memilih untuk bersabar dan tetap bertahan mendampingi isterinya. Ia baru mengetahui Eunike mengidap vaginismus dalam setahun perkawinannya. Saat ini, Eunike sedang menjalani proses penyembuhan.

    Dalam kasus vaginismus, psikiater Elvine Gunawan mengatakan, laki-laki bisa juga mendapat tekanan psikologis. Kegagalan penetrasi ke vagina, seringkali dikaitkan dengan ketidakjantanan seorang laki-laki.

    "Ini menjadi masalah. Sampai suatu titik, mereka akhirnya tidak mau membahas isu ini lagi. Pernikahannya menjadi tidak baik, bahkan komunikasinya tidak baik, akhirnya menjadikan kehidupan sosial dan pekerjaannya menjadi pelarian," papar Elvine.

    Vaginismus bisa sembuh
    Dari pemeriksaan yang dilakukan, Eunike diketahui mengidap vaginismus derajat empat, yang membuatnya harus melakukan pengobatan dilatasi. Dilatasi adalah sebuah metode penyembuhan kekakuan otot vagina dengan cara meregangkan otot-otot vagina yang mengalami kekakuan menggunakan alat bantu yang disebut dilator.

    Dengan tingkat keparahan empat, Eunike harus menjalani prosedur dilatasi berbantu di rumah sakit.

    "Jadi dokter langsung bilang kalau saya vaginismus level empat dari lima. Kalau level empat harus dilatasi berbantu. Jadi saya melakukan dilatasi berbantu. Itu tiga hari saya menginap di RS Limijati," kata Eunike.

    Sepulang dari rumah sakit, Eunike dibekali dilator, alat berbahan silikon, dengan empat macam ukuran. Selama enam bulan, Eunike disarankan melakukan dilatasi mandiri menggunakan dilator.

    "Jadi saya harus latihan (dilatasi mandiri). Ada empat size dilatornya, saya harus latihan dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Itu latihan pagi malam setiap hari dua kali selama enam bulan," ucapnya.

    Setelah dua minggu dilatasi mandiri, Eunike dan Budiman akhirnya bisa bersenggama untuk pertama kalinya. Meski, proses dilatasi mandiri tetap harus dilakukan hingga enam bulan ke depan.

    "Setelah dua minggu latihan dilatasi mandiri, kita sudah berhasil intercourse for the first time. Rasanya oh gini," ujar Budiman sambil tertawa.

    Eunike memang mengakui trauma kesakitan masih membayanginya, namun dilatasi mandiri sedikit demi sedikit menghapus traumanya dan membangun kepercayaan dirinya.

    "Kalau latihan rasanya berangsur-angsur lebih nyaman. Dan sudah nggak terasa sakit seperti dulu," kata Eunike.

    Dokter Robbi menyebutkan, prosedur pengobatan vaginismus tergantung derajat keparahannya. Jika derajatnya satu dan dua, bisa langsung melakukan dilatasi mandiri, namun pada derajat tiga hingga lima, harus melalui prosedur dilatasi berbantu.

    Pada proses dilatasi berbantu, Robbi menerangkan, pasien hanya dibius total, tanpa tindakan operasi.

    "Pembiusan total itu kita perlukan untuk sementara bisa menghilangkan kekakuan ototnya dan kita bisa mengerjakan semua rangkaian prosedurnya, sehingga ketika pasien terbangun dia sudah bisa memulai dilatasi yang akan membuatnya sembuh."

    "Jadi kita tidak melakukan penyayatan, kita tidak mengubah struktur vaginanya karena secara data pun, orang dengan vaginismus, struktur vaginanya normal, tidak ada yang perlu kita operasi sayat, potong, bolongi, atau apapun itu," kata Robbi yang pernah dimentori langsung oleh pelopor penanganan komprehensif vaginismus Peter T Pacik.

    Sedangkan dilatasi mandiri dilakukan oleh si pasien menggunakan dilator dengan gerakan tertentu. Tujuannya melatih otot yang kaku sehingga menjadi normal.

    "Kita harus mengupayakan otot ini dilatih agar menjadi normal, tentu dibantu dengan alat bantu. Paling sederhana ya jari ataupun dilator, alat dari silikon yang berbentuk silinder. Nanti alat itu akan masuk dan keluar vagina dengan beberapa gerakan tertentu," ucap Robbi.

    Dukungan bagi pengidap vaginismus
    Dukungan dari suami dan penyintas vaginismus, diakui Eunike, sangat membantu proses penyembuhannya.

    "Suami saya untungnya support terus, 100 persen."

    "Saya juga termotivasinya karena vaginismus survivor yang lain udah bisa melewati ini dan goalnya menyenangkan. Jadi saya balik lagi termotivasi," ungkap Eunike.

    Pendiri Komunitas Pejuang Vaginismus, Dian Mustika, menyebutkan, memang terlihat perbedaan antara pengidap vaginismus yang mendapat dukungan pasangannya dengan yang tidak.

    "Kalau aku lihat memang ada perbedaan antara yang didukung oleh suami dengan yang tidak. Yang didukung suami totalitas, penyembuhan semuanya difasilitasi dan ditunggu dengan sabar, otomatis si isteri yang dalam proses penyembuhan, melakukannya dengan nyaman karena pasangan hidupnya mendukung," ujar Dian.

    Psikiater Elvine Gunawan mengamini dukungan suami penting bagi pengidap vaginismus. Tapi selain itu, menurut Elvine, harus ditekankan bahwa kesembuhan itu suatu proses dan bukan instan. Dan yang tak kalah penting, lanjut Elvine, adalah mengisolasi diri dari konten sosial yang berpengaruh buruk pada kondisi psikis.

    "Yang paling mungkin adalah mengisolasi diri dari konten-konten sosial yang memang menjadi budaya kita. Pertanyaan yang sering banget, 'kapan kamu punya anak? Kok teman kamu yang seangkatan nikah kamu sudah punya anak, kok kamu nggak?'. Itu sebenarnya pertanyaan sosial, tapi untuk wanita-wanita yang memang mengalami kesulitan ini bikin depresi," katanya.

    Sementara menurut Robbi, dukungan dari semua pihak sangat diperlukan oleh pengidap vaginismus, terutama dari tenaga medis.

    "Cukup banyak juga karena di luar, asumsinya vaginismus ini penyakit pada pikiran, sehingga orang-orang yang berkompeten untuk membantu pikiran pasien mencoba untuk membantu, tapi kenyataannya yang dilakukan bukan membantu pikirannya, tapi tetap dengan asumsi menyalahkan. Itu sudah jelas menambah buruk situasi dan penyakit pasien," tutup Robbi yang aktif mengedukasi publik tentang vaginismus melalui instagram @vaginismusindonesia.





    Review :

    https://www.bbc.com/indonesia/majalah-56261560?xtor=CS3-33-%5Bwsindonesian%7EC%7EA38B38C39D37E38F37G38wsmktgIndonesia_8MS_InspiringWomen%7EIndonesian_8MS_InspiringWomen_Facebook_Traffic_Indonesia_E38F37G38%5D-%5BFacebook%5D-%5B23845965917130073%5D-%5B23847022903130073%5D&fbclid=IwAR0DMX3wfrlHhhhd1rt1uAof6YD63-Z9L8roLLm0zL-ekBYLLtOemYlKHkg



    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad